Iklan Multipleks Baru

Friday, February 4, 2022

Tuan Direktur: Buya Hamka

 

 

**

“Uang ialah barang singgah, entah ia pergi lebih dulu dari kita dan meninggalkan kita dengan tidak memiliki uang seperti orang miskin. Atau kita yang lebih dulu pergi meninggalkannya dan ia pindah ke tangan orang lain. Lalu, kita kembali ke akhirat dengan sehelai kafan. Namun, apabila kita telah kaya, biarlah ia datang dan pergi sehari sekali, duduk kita tidak akan tergoncang dan berdiri kita tidak akan condong. Sebab, hati kita telah kaya.”
[Buya Hamka]

**

Membaca novel ini, semacam tidak membaca sebuah novel, namun seperti mendengar curhatan orang terdekat; lebih terasa seperti sedang membaca realita hidup masa kini. Dengan sedemikian hiruk pikuk polanya, lingkungannya, bahkan pemikiran orang-orangnya. Ada yang terlahir miskin lalu menjadi kaya, lagaknya seperti orang terkaya di dunia, padahal yang kaya sejak lahir juga gayanya biasa saja, bahkan cenderung sederhana. Ada juga lingkungan yang awalnya begitu kondusif tetiba berubah menjadi lahan pabrikan, industry, perumahan dan lain sebagainya. Hal terpenting dari itu semua adalah kemampuan seseorang untuk menjaga diri agar tetap sehat akal, pikiran, tidak tergoda dengan bujuk rayuan dunia, sebab seluruhnya yang ada di dunia ini adalah kesementaraan semata.

 

Novel orange ini berkisah tentang seorang pemuda dari Banjar, Jazuli namanya. Mencoba peruntungannya di Surabaya. Bermodal kekerasan hati, ia berhasil memiliki hotel mewah dan toko emas juga berlian yang cukup tekenal hingga ke luar negeri. Demi mencapai posisi puncak dan mempertahankan posisinya, Jazuli yang dijuluki dengan panggilan “Tuan Direktur” rela menyingkirkan semua sahabat dan orang-orang terdekatnya. Namun malangnya ia justru mengambil orang-orang bermulut manis dan bermuka dua menjadi orang terdekatnya. Bukan untung malah buntung, ironinya tak sadar ia telah terlalu jauh salah arah dalam mengarungi perjalanan panjang kehidupan.

 

Tuan Direktur dengan hawa nafsunya mengembangkan bisnis, membawanya harus berurusan dengan Pak Yasin, seorang kakek tua pemilik tanah dan rumah sewa di daerah kumuh di pinggir kota. Segala cara dihalalkan Jazuli asalkan dia dapat memperoleh tanah Pak Yasin. Namun, ternyata Pak Yasin memiliki kekuatan yang tidak dimiliki Tuan Direktur. Orang-orang yang awalnya memihak Tuan Direktur beralih ke sisi Pak Yasin.

 

Begitu hebatnya Buya Hamka mengalirkan cerita ini dengan penuh emosi, kali ini novel Tuan Direktur ini bukanlah novel  tentang percintaan, tapi tentang perjuangan, tentang hak-hak rakyat kecil, tentang kekokohan, keberanian dalam mengatakan kebenaran dan kekompakan dalam mempertahankan kebenaran meskipun pahit. 

 

Sungguh guratan tinta yang istimewa, sangat ramah mengingatkan pembaca akan semangat berusaha demi sebuah kehidupan. Tidak sebagai bawahan yang diperintah majikan, namun sebagai sosok yang bebas menentukan arah langkahnya, sosok yang berani berjuang, sosok yang berani keluar dari zona nyaman, sosok yang berani berniaga dengan Allah swt, tidak selalu untung memang, tetap pasti ada ruginya, namun jika dilakukan dengan cara yang benar, ridha Allah akan datang sebagai rahmat untuk setiap pelangkah yang menjalankannya. Jika itu berhasil didapatkan selama hidup di dunia ini, maka itu semua sudah lebih dari cukup.

 

Kelebihan novel kecil ini, dalam ukuran mininya mampu memberikan nasehat yang singkat padat dan menghujam langsung pada pembaca. Tidak seperti dinasehati karena sang kakek berbicara dengan Tuang Direktur, namun pembaca menangkap seakan kata-kata itu nasehat kakek untuk cucunya yang saat ini sedang asik membaca kisanya.

 

Dari sini penulis ingin mengutip sedikit kutipan, yang kiranya menjadi bahan untuk pertimbangan pembaca, menilai berbobotkah atau tidak buku ini:

 

“Jika orang berlari mengejar kekayaan uang, dengan tidak sadar, orang itu telah miskin dalam perkara akhlak. Kalau orang berlari mencari sahabat yang akan mengangkat-angkat, dengan tidak sadar, iapun telah miskin sahabat yang sanggup menunjukkan budi bahasa yang baik. Kalau orang berlari mencari pergaulan di kalangan orang tinggi-tinggi, dengan sendirinya, orang itu pun kehilangan teman dikalangan orang rendah-rendah. Sesungguhnya dunia ini tidak penrah mempunyai kecukupan.”

 

Ulasan diatas refleksi betapa tak ada ujungnya dunia ini jika selalu diikuti, maka ada benarnya juga yang dikatakan Alm. Bob Sadino, Bahwa mengatakan: “Stop… Tidak usah membangun cabang lagi, stop tidak usah memperbesar jaringan bisnis lagi.” Adalah keputusan berat, yang itu juga menggambarkan dari seni entrepreneur sejati yang mampu memutuskan apa yang sedang berjalan, dan kapan harus berhenti, meskipun resikonya akan rugi, meskipun banyaknya tawaran yang harus ditolak, namun jika dikatakan berhenti ya berhenti. Disini adalah seni untuk menjadikan dunia itu sebagai alat, dunia sebagai genggaman, dunia sebagai mainan, bukan dunia yang mempermainkan kita.

 

Mak nyeledup… Masuk ke hati bah,.. dari sini, mulai kerasa daging dari buku inikan?

Selain dari pada petikan di atas, ada juga petikan momen  seorang kakek menasehati cucu sematawayangnya, yaitu:

“Kerapkali yang menyusahkan hidup orang sekarang sehingga menjadi miskin ialah lantaran menjadikan rumah tangganya seperti museum barang-barang yang tidak berguna.” Sebuah nasehat singkat untuk berhemat dalam keluarga, sebab Aminahlah yang bakalan menjadi bendahara dalam keluarga.

 

Selain itu Aminah dididiknya menjadi seorang perempuan yang tidak kaku dalam hidup meskipun ia adalah sosok wanita muda malang yang sudah piatu sejak lahir dan yatim beberapa tahun kemudian setelah lahir. Namun kakeknya adalah sosok tegar yang berkharisma. Dengan sedapa upayanya segala kepandaian tangan yang sesuai untuk kaum perempuan diajarkannya atau disuruhnya perempuan lain mengajarkan pada cucunya tersebut.

 

Samar-samar dari balik setiap aktivitasnya Aminah, Fauzi pun telah tertarik oleh Perangai dan kesopanannya Aminah, sepenuhnya Fauzi telah menarik hatinya dari berlayar dilautan Samudra, kini dia lebih pilih untuk menepi pada satu dermaga. Benar, dia jatuh cinta kepada anak perempuan itu. 

 

Kisah novel luar biasa, dibalik alur yang terus melaju serius, oleh Buya Hamka dapat diselipkan sedikit kisah cinta yang hanya menjadi pengharum ruang baca. Menurutku novel ini sangat indah bahasanya, dan sangat dinamis alurnya. Untuk itu tanpa ragu, Aku rekomendasikan buat kamu para pembaca yang sangat merindukan novel yang berkualitas agar dapat segera membaca novel ini.

 

Namun sebagaimana kata pepatah, tiada gading yang tak retak, maka untuk itu kekurangan dalam novel ini menurutku adalah: Tidak ada kata putus dari perjalanan Tuan Direktur yang kian gelap itu, padahal sebagai seorang pembaca butuh kepastian bagaimanakah keadaan Tuan Direktur yang telah berobat ke doctor dan disarankan merilekskan pikirannya terlebih dahulu, padahal dari judulnya Tuan Direktur, maka sejelas itu juga saya selaku pembaca ingin mengetahui akhir kehidupan tuan direktur.

 

Selanjutnya, silahkan membaca kawan, jangan tunggu esok, tapi sekarang! Jangan tunggu kapan kosong, tapi sekarang! Jika hari ini ilmu baru bisa kamu dapatkan, jangan tunda ke besok, karena boleh jadi besok kamu sudah tidak menerima kesempatan yang sama!

 

**

Judul Buku      : Tuan Direktur

Penulis             : Prof. Dr. HAMKA

Penerbit          : Gema Insani

Cetakan           : pertama, Sya’ban 1438 H/ Mei 2017 M

Tebal               : viii + 140 hlm; 18,3 cm

ISBN                : 978-602-250-389-7

Genre              : Sastra

Harga              : Rp. 

Resensator      : Irwan Haryono S., S.Fil.I


**

 

 

 

 

0 comments :

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.

Dalam Feed

Dalam Artikel Baru

Display


*PENGALAMAN NYANTRI: Menikmati Setiap Detik Proses Kelak Menjadi Pengalaman Beresensi