Iklan Multipleks Baru

KETELADANAN KYAI DAN GURU

"Bondo bahu pikir lek perlu sak nyawane pisan. [KH. Ahmad Sahal]

WAJAH PENDIDIKAN PESANTREN

"Prioritas pendidikan pesantren adalah menciptakan mentalitas santri dan santriwati yang berkarakter kokoh. Dasarnya adalah iman, falsafah hidup dan nilai-nilai kepesantrenan. "

PENGALAMAN UNIK DAN LUCU

"Pekerjaan itu kalau dicari banyak, kalau dikerjakan berkurang, kalau hanya difikirkan tidak akan habis. [KH. Imam Zarkasyi] "

GAGASAN KEMAJUAN UMAT

"Tidak ada kemenangan kecuali dengan kekuatan, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan persatuan, da ntidak ada persatuan kecuali dengan keutamaan (yang dijunjung tinggi) dan tidak ada keutamaan kecuali dengan al-Qur'an dan al-Hadits (agama) dan tidak ada agama kecuali dengan dakwah serta tabligh. [KH. Zainuddin Fananie dalam kitab Senjata Penganjur] "

FALSAFAH DAN MOTTO PESANTREN

"Tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan. [Trimurti] "

NASEHAT, KEBIJAKSANAAN DAN REFLEKSI

"Hikmah ialah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah. (HR at-Tirmidzi). "

BERARTI DAN BERKESAN

"Pondok perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan. (KH. Abdullah Syukri Zarkasyi). "

Sunday, March 10, 2019

Gadis 12 Rakaat; Agama Selalu Ada di Atas Cinta


Gadis 12 Rakaat; Agama Selalu Ada di Atas Cinta
(Sebab rasa, hati dan perasaan itu sendiri milik sang mahakuasa)

            Assalamu’alaikum wr. Wb..
     
 Salam sebagai pembuka awal komentar terhadap karya berharga seorang Ma’mun tercinta... (Alahai, belom apa-apa udah lebai), untuk kali keberkian kalinya aku berhasil menuntaskan novel terbaru sang novelis muda ini... “Gadis 12 Rakaat” tuntas sak komentar-komentarnya. Hehehehe... .

      Awalnya ku coba baca epilog di kulit belakang novel, tertulis “Cinta berbeda agama adalah sebuah pilihan rumit. Satu sisi ingin bersatu, di sisi lain agama tak merestui. Fashihah dan Bagus terjebak dalam dilema itu.” Merasa kurang mendapatkan informasi, ku lanjutkan bacaanku ke kata pengantar, ku amati daftar isi, hingga fokus mata ini terhenti pada judul ke-22 yang tertulis “Gadis 12 Raka’at”, spontan membuat bola mataku membulat besar, ingin rasanya segera membaca judul ini, tapi kuurungkan niatku agar hikmat perjalanan bacaku. Tersimpan penasaran kecil mengapa sub judul ini menjadi judul novel, apa hebatnya judul ini! Sekilas hati kecilku bertanya.

      Novel ini menceritakan 2 pemeran inti yang sudah kita ketahui bersama, Bagus dan Fashihah. Dua sosok yang sama-sama memiliki kisah sedih, sama-sama memiliki kelebihan di atas rata-rata orang awam pada umumnya dan juga sama-sama terlahir menjadi pemeluk agama yang benar-benar taat, sayangnya satu perbedaan yang membuat mereka terpisah jauh, mereka berbeda keyakinan.

      Bagus Pradana, sosok pemeran pertama, lahir di Manado, tanpa tahu siapa ayah dan ibunya. Hidup sebatangkara sebagai gelandangan yang kehilangan orang tua, lalu dipungut gereja karena di anggap memiliki talenta, di besarkan hingga akhirnya terpilih menjadi sosok yang sering berdo’a, dan membacakan puji-pujian suci kepada Tuhan di gereja dengan suara merdunya.

       Pemeran inti kedua, Aisy Fashihah Ilma, nama yang cukup indah, seindah parasnya. Fashihah adalah pujaan di Pondok Pesantren Sabilul Huda, memiliki suara syahdu dalam mengaji, belum ada yang dapat mengalahkannya dalam MTQ cabang Qira’atul Qur’an, cara berbicaranya santun, menjadi juara pesantren, certas, cantik dan terlahir dari keluarga terpandang dan kaya raya, khusus urusan kepribadian Fashihah mendalami makna keanggunan dan kebaikan dengan filosofi yang dalam. Sungguh sangat luar biasa hawa yang tergambar menjadi pemeran utama di novel ini.
***
       Novel pink ini agak berbeda dengan novel bang ma’mun sebelumnya, dahulu halamannya sampai 400-san dan khusus yang terbaru ini hanya 272 halaman, itupun sudah dengan galeri novel beliau beserta testimoni pembaca setia karyanya. Kalau dulu tebal minta ampun, sekarang tipisnya bukan main,  di ramu lebih minimalis, heheh.. Udah macem dekorasi rumah aja.
         
       Selaku pembaca, komentar adalah makanan favoritnya, dan coretan blog menjadi lahan aplikasi hasil cerna bacaannya. Jadi kiranya wajar jika pembaca sedikit mengomentari novel terbaru yang berada di tangan ini, secara singkat komentar saya pribadi meliputi 5 hal yang penting, diantaranya: Dari sudut alur cerita, kesamaan dengan novel penulis lain, kesamaan dengan novel bang ma’mun sendiri, khas tulisan ala Ma’mun Affany, dan Kekhasan novel ini. Dan tentu saja di tutup dengan sedikit harapan dari pembaca miskin ilmu ini pastinya.



Pertama: Dari sudut alur cerita.
      
      Judul pertama masih berbicara bagaimana sosok Bagus, siapa dia, bagaimana dia, apa saja rahasia yang ia miliki termasuk keahlian khususnya yang tidak dimiliki sembarang orang. Memasuki judul kedua mulai timbul masalah, dengan penugasannya untuk mendekati seorang gadis muslimah taat yang terjaga aman di Pesantren Sabilul Huda, putri dari bapak Husein, tokoh tersohor Singosari, Malang, Jawa Timur. Aisy Fashihah Ilma namanya. Misi utama Bagus, bagaimana membuat Fashihah murtad dari agamanya. Ia gunakan jurus menuntut ilmu, seakan dia tahu bahwa pesantren sangat berat menolak santri yang tulus niat ingin belajar ke pondok. singkat cerita Bagus pun di terima oleh Gus Ali Pimpinan pesantren, dan kesehariannya menngabdikan diri pada beliau, apa saja dikerjakannya mulai, bersihkan rumah, nyuci mobil, nyapu halaman dan lain sebagainya. Fokusnya hanyalah pada Fashihah.
    
     Sementara di waktu bersamaan, Bagus juga sudah memiliki kedekatan khusus dengan Yuna, seorang dokter muda cantik, pintar dan juga perhatian yang terang-terangan siap untuk setia, tidak mau ditinggalkan, walaupun konseksuensi keberhasilan misi Bagus sampai menikahi gadis muslimah tersebut, Bagus tak tega, namun Yuna masih kokoh pada pendiriannya. “Aku tetap bersamamu, jalankan tugasmu, jangan lupakan aku. Cinta wanita seperti akar, menghujam dalam. Kalau dicabut dan dipindah, akan kering kerontang, aku tetap disampingmu. Jika sudah selesai, kembalilah padaku, aku hadir untukmu...”tampak berat yuna mengucapkan kata-katanya barusan.“Tidak ada yang bisa menolakmu, tapi aku takut tak bisa setia. Hidupku hanya untuk Tuhan...” jawab Bagus sejujurnya. “Aku semakin cinta padamu...” tutup Yuna kagum. Begitulah kira-kira sedikit cuplikannya...
        
   Di buka di awal dengan permasalahan perasaan, selanjutnya apakah masih seputar perasaan atau kejadian, atau pemberontakan atau tentang logika sebuah tindakan...? Penasaran? Monggo... di lanjutkan bacanya.... hehehe... yang Aku suka dari novel abangku yang satu ini ya... dari cara penulisan masalah inilah, amunisi ampuh menggaet pembaca untuk segera menuntaskannya.

Kedua: Dari kesamaan dengan cerita novel penulis lainnya

     Sejauh yang aku kenal, bang Ma’mun tidak pernah membaca novel lain selain karya buya Hamka, itupun novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” jadi mungkin beliau tidak mengira ada kesamaan cerita dengan novel lainnya.

   Dalam adegan perkelahian mengejar maling yang masuk pondok, sepintas tergambar adegan perkelahiannya khas ramuan kang Abik dalam “Ayat-Ayat Cinta”, ketika Fakhri berkelahi dengan Bahadur, apalagi ketika si maling mengeluarkan pisau, hampir persis tapi tetap tidak sama pastinya, bak kata pepatah: lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, masing-masing tetap masih memiliki sisi identitas yang melekat erat pada masing-masing cerita. Ehm...... Mantap
  
     Disisi lain novel ini juga mengajarkan risalah Islamiyah, seperti nasehat keagaan namun diramu dengan dialog interaktif mengalir, sehingga pembaca tanpa terasa telah mengkonsumsi nasehat, Seperti cerita Azam yang mengajar konsep ibadah pada Fadhil di novel “Ketika Cinta Bertasbih”, “Mendahulukan orang lain dalam ibadah itu tidak boleh, tapi dalam mu’amalah itu keharusan” agak sedikit mirip dengan situasi Bagus ketika menjumpai Gus Ali untuk meminta nasehat dan bersyahadat. Keduanya memiliki emosi alur cerita yang sangat berdekatan.

Ketiga: Kemiripan dengan novel bang Ma’mun yang lainnya
  
     Pertama, pada halaman: 145 mencerminkan gambaran penasaran perasaan dan hati wanita yang iri dengan wanita yang lainnya, mengingatkan pembaca dengan karya beliau “Kehormatan di Balik Kerudung”.

   Kedua, pada halaman: 196 bercerita tentang kehilangan, mencari-cari kabar berita, mencari-cari alamat orang, hingga meyakinkan pasangan kembali atas cinta suci yang tiba-tiba menghilang di telan hilangnya ingatan, samar-samar mengantarkanku pada novel “29 Juz Harga Wanita”disana tak terbayang betapa luar biasanya perjuangan sosok seorang lelaki untuk menumbuhkan kembali bibit cinta sang istri yang tiba-tiba menghilang begitu saja dalam waktu yang lama.

Keempat: Khas karangan yang dimiliki seorang Ma’mun (sosok penulis kawakan)

     Kemampuan mengibaratkan dan menvisualkan wujud paras seseorang adalah khas Ma’mun yang hampir dibumbuhi secara merata pada setiap buah penanya.“Fashihah tercipta dari puing-puing keindahan yang berserakan dari banyak makna kecantikan. Disatukan dalam sosok wanita penuh kebahagiaan dan kelembutan. Melihat Fashihah seperti melihat keajaiban Tuhan.” Begitulah satu contoh singkatnya.
    
     Selain dari pada itu, kemampuan menceritakan perpindahan waktu dari masa ke masa terasa mengalir begitu saja. Tergambar pada saat Perpindahan tahun 1 -6 tahun pernikahan tidak terasa. Belum lagi saat menyambungkan antara satu episode cerita ke cerita setelahnya, tepat pada episode 20 “Tetap Mandul” ke episode 21 “Tak Ada Yang Sempurna” terasa alur emosi pembaca terbawa suasana hingga akhir cerita.

     Selanjutnya kemampuannya memilah-milih kata menjadikan sesuatu sederhana menjadi istimewa, tepatnya saat menceritakan keanggunaan Fashihah “Bajunya tidak mahal, tapi serasi, bahkan sampai sepatu. Fashihah pintar memadukan kesederhanaan menjadi keistimewaan.”
                
      Akhirnya sampai pada  bagian terindah novel ini yang tidak boleh dilewatkan adalah saat ada dialog rayuan cerdas, benar-benar menggelitik perut, membuatku senyum-senyum sendiri... Jangan kira aku gila sendiri ya.... berikut salah satu dari banyak petikan rayuan cerdas lainnya, tergambar saat Bagus sahut-sahutan dengan Fashihah, “Kau pandai sekali menggembirakan wanita. Kau pasti laki-laki buaya” ucap Fashihah, Bagus tersenyum “Aku tidak punya daya apa-apa. Wanita sekarang sering melihat keturunan dan kekayaan. Aku laki-laki biasa.” “Kau baik, itu sudah menjadi obat wanita paling mujarab di dunia” Fashihah membalas. “Aku kira hanya laki-laki yang pandai memuji, ternyata wanita dihadapanku lebih pandai” Bagus menunduk. Hahai... Jadi malu.... J

Kelimat: Ciri khusus novel ini
       
      Secara kekhususannya novel ini berbeda dengan novel bang Ma'mun yang lainnya, disini nampak cerita yang ingin di angkut adalah nikah beda agama, namun tidak cukup hanya disitu, ada banyak pesan moral, nasehat kebijaksanaan, rahasia pendidikan dan cara bersikap serta mengambil keputusan yang diajarkan disini, sehingga tanpa terasa pembaca juga terbawa masuk ke dalam inti nasehat yang sangat luar biasa.
      
     Selain dari pada itu, novel ini membocorkan beberapa rahasia pendidikan pondok, dimana sosok kyainya adalah sosok yang tidak terlalu silau dengan kemewahan dunia, beliau sederhana namun di kagumi masyarakat, cirinya selalu mampu mengambil kehidupan dunia sebutuhnya, santrinya terbiasa hormat, taat dan patuh pada kyai, dan berkerja seikhlas serta semaksimal yang ia mampu lakukan.

    Berikut berberapa pesan moral yang langsung di kutip dari novel tersebut tanpa ada perubahan redaksi, agar asli yang di tampilkan, agar lapang ruh penulis masuk kedalam relung hati pembaca setia lainnya.

    Pesan moral pertama: Tentang kerukunan dalam beragama, baik dalam berkeyakinan maupun bersikap dan berinteraksi. Pesan tersebut tergambar jelas dari nasehat Gus Ali Kepada Bagus: “Islam itu intinya ibadah dan muamalah. Ibadah kepada Allah, dan muamalah kepada manusia dengan baik. Bahkan kamu menyingkirkan duri dari jalan itu sebuah tanda keimanan. Mengikat tali saudara sesama muslim juga tanda iman. Jangan kamu sakiti orang lain. Bahagiakan selalu orang lain. Kalau kamu tidak mampu berbuat baik, paling tidak jangan menganggu.” Begitu jelas bukan pesan yang disampaikan?

    Pesan moral kedua: Yang di tanamkan novel ini bahwa wanita itu mahal, harus bisa jaga kehormatan diri. tersirat dalam dialog Fahsihah dengan Bagus: “Kata ibu aku cantik, aku sangat menarik bagi laki-laki. Aku sejujurnya takut sekali. Aku yakin diamanati kecantikan ini bukan sebagai hiburan. Aku yakin ini untuk dijaga. Aku yakin masih banyak laki-laki baik. Yang aku khawatirkan laki-laki yang tak baik. Aku belum bisa jaga diri meski sudah sebesar ini” Fashihah menarik nafas panjang.
    
     Pesan moral ketiga: Bahwa ibu adalah tempat curahan hati gadis sebelum ia menikah, sebab ibu yang paling tahu tentang anaknya dan tahu mana yang tebaik untuk putrinya. kembali nasehat murni khas orang tua pada anak gadisnya tersirat pada dialog ibunya Fashihah kepadanya jauh sebelum ibunya meninggal dunia: “Menilai laki-laki mudah, laki-laki baik selalu menghormati wanita dan tidak menjerumuskannya dalam bahaya dunia dan alam baka. Dia akan memuji tapi bukan menggoda, dia akan meninggikan tapi tidak mengada-ada.” Ehem..... udah pada baper belom...? hehehehe....

Harapan untuk terbitan Novel Berikutnya
     Tidak mengerti apakah kisah novelnya yang mudah tertebak atau karena pembaca sudah membaca karya beliau berkali-kali, sehingga terbaca betul alur cerita dan ujung ceritanya.


    Pertama, terbaca pada saat Fashihah mengadukan Bagus pada Nyai pondok karena telah memasuki areal putri karena mengejar maling, sampai akhirnya Fashihah yang memiliki hati lembut bak sutra itu, merasa iba karena bagus mendapat hukuman berat oleh karena aduannya, serasa hukuman tidak setimpal dengan kebaikan yang telah ia kerjakan di waktu yang bersamaan pula dan karena Bagus menjalani hukuman dengan lapang dada, serta menikmatinya, secara berkala timbul benih-benih simpati Fashihah yang datang begitu saja.
   
    Kedua, sosok Bagus yang memiliki suara bagus bakalan di pertontonkan di depan jama'ah ketika membaca al-Qur'an, sangat terbaca karena memang tujuannya hadir ke Pesantren adalah untuk bisa mendapatkan Fashihah, belajar bahasa Arab dan Mengaji, dan satu-satunya langkah yang memang masuk akal untuk bisa di kenal banyak orang, dan di kagumi santriwati adalah dengan tampil memukau dengan kelebihan yang sangat matang.
  
   Ketiga, bagiku pada saat digambarkan wanita hamil berjalan keluar dari gereja bersama Santo, hampir menggambarkan jalan cerita novel ini sampai akhir, tidak seperti novel "Kehormatan Dibali Kerudung" dan "29 JUZ Harga Wanita" yang penasarannya poool...

    Agar tidak berkurang cita rasanya, akan lebih baik jika pembaca menyudahi bacaannya sampai Hakim pengadilan usai ketuk palu, tanda kasus usai dan di tutup. Setelah menemui Bagus Fashihahpun menghampiri, dan memeluk Yuna. Saranku, jangan melanjutkan bacaanya.... Jangan tanya kenapa ya,.. Ikuti saja...

   Akhir Kata, “Kesempurnaan itu tak pernah hadir pada manusia. Manusia selalu diberikan kekurangan agar kesombongannya tak berlebihan.” apabila ada salah kata, salah ketik, membuat penulis novel dan pembaca setia novel ini marah, sakit hati, dan dongkol hati dengan saya. Dengan tulus hati saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semuanya.
    
       Selanjutnya ....... Selamat membaca .....
      
       Wassalamu’alaikum wr. Wb..
Lumut... 
Ahad, 10-03-2019 (22.25 wib)


Dalam Feed

Dalam Artikel Baru

Display


*PENGALAMAN NYANTRI: Menikmati Setiap Detik Proses Kelak Menjadi Pengalaman Beresensi