Iklan Multipleks Baru

Tuesday, July 4, 2023

Pengalaman Nyantri Sedih: 3 Tipe Santri Saat Menunggu 'Mudif' dan Kiriman

 3 Tipe Santri Saat Menunggu 'Mudif' dan Kiriman

Menunggu ‘mudif’ (kunjungan orang tua) dan kiriman adalah ujian kesabaran santri tingkat pertama. Ujiannya cukup dengan menunggu, tapi rasanya luar biasa tak terbilang, hati harap-harap cemas, berharap datang, dan cemas kalau tidak jadi datang. Pengalaman yang satu ini benar-benar mengaduk rasa. Saban hari ada sedihnya, ya ada uniknya juga. Kadang ada rasa mirisnya ya ada sisi pendidikannya juga. Pada intinya menungu 'mudif' dan kiriman adalah tanda-tanda mulai memasuki awal ujian kedewasaan di pondok. 😎


 

 


Tau tidak teman-teman bagaimana rasanya di pondok dengan keadaan uang telah habis? 


Tau tidak kawan-kawan rasanya sisa persediaan jajan di ‘sunduk’ (baca: Lemari) sudah tidak ada?

 

Satu kata dari santri: “Nikmatilah.” 😉

 




Kali ini kami bercerita sisi sedihnya santri, tapi ya tidak sedih-sedih kalilah, cuma ya lumayan tersiksa sedikit. Namanya juga santri, sosok murid yang belajar mandiri sejak dini.

 

Secara singkat kami sederhanakan tipikal santri saat menunggu ‘mudif’ dan kiriman dalam 3 (tiga) tipe. Tipe pertama santri yang JAIM introvert. Tipe kedua santri supel yang ekstrovert. Dan ketiga tipe santri sultan tapi seganan. Masing-masing punya cara untuk bertahan hidup, dan punya cara untuk menunggu mudif dan kiriman. 

 


Mau tau ceritanya? Ayo lanjut bacanya…


 

Tipe pertama: Santri JAIM yang Introvert.

 

Bagi santri ‘JAIM’ (jaga image) caranya sangat bersahaja, insya Allah tidak lekang dari kata manfaat, di samping harap-harap cemas, untuk mengatasi 4 waktu krusial, beginilah triknya:

 

Pagi hari pada saat ‘roha al ula’ (waktu istirahat pertama). Santri ‘JAIM’ lebih memilih untuk mengunjungi perpustakaan. Disangkanya hanya dia seorang yang di perpustakaan, eh ternyata sudah kedahuluan dengan yang lain. (Dalam hati bersyukur ternyata aku tidak sendiri)

 

Pada ‘roha al tsaniyah’ (Isirahat kedua), memilih untuk istirahat dan bersantai di kelas sambil tiduran. Dan kembali lagi, ternyata yang memilih tidur tidak dia sendriian saja.


Sore ‘bad’da ashar’ (usai shalat ashar), mencari kesibukan dengan mencuci, menggosok, membersihkan lemari, atau olah raga ringan di lapangan, bisa juga sekedar berjalan santai mengelilingi seantero pesantren, dengan jalur perjalanan yang menghindari kantin. 😙

 

Malam ‘ba’da muajjah’ (setelah belajar malam), memilih untuk balik ke asrama duluan, merapikan roster pelajaran untuk keesokan harinya, cuci kaki, sikat gigi, wudhu dan berganti kostum kaos untuk tidur malam, dan bersiap menuggu berdo’a bersama sebelum tidur.

 

Ini cara berhemat mengatasi persoalan tak kunjung mudif bagi santri JAIM. Mari kita lanjut ke tipe selanjutnya.

 


Tipe kedua: Santri Supel yang Ekstrovert. 

 

 

Kali ini tipikal santri supel ekstrovert, biasanya kepribadiannya sungguh super duper akrab dengan teman-temannya. 

 

Pagi hari pada saat ‘roha al ula’ (waktu istirahat pertama), dari les ketiga di kelas, biasanya sudah mulai atur strategi, bercengrama dengan teman-teman kelas menjadi modal utama, sampai akhirnya keseruan cerita tak usai, perbincangan pun berlanjut sambil jalan  menuju kantin, dan jadilah dibandari jajan. 

 

Dan biasanya pada ‘roha al tsaniyah’ (Isirahat kedua) memakai trik yang sama, bisa dengan teman yang pertama tadi atau teman lainnya.

 

Sore ‘bad’da ashar’ (usai shalat ashar), santri supel esktrovet ini biasanya selalu punya cara baru. Dan kali ini contohnya dengan cara menawarkan jasa.

 

Saat suasasna kamar hening, dia pun membuka bicara. “Hi sohibie.. Kaifa lau nahnu nasytari toam? Lakin nuqudi mafi, ana asytari faqot.” (Hi kawan-kawan…. Gimana kalau kita beli jajanan ringan, tapi ane tak ada uang, ane jasa beli ke kantin lah). Biasanya trik ini berhasil, dengan cermat dia kutip hasil  patungan, dan diapun berhasil menjalankan misinya.

 

Malam ‘ba’da muajjah’ (setelah belajar malam), kurang lebih memakai trik waktu istirahat pertama tadi, dan nyaris ampuh. (secara gitu, sudah sangat bepengalaman, tinggi jam terbangnya).

 

Walau bagaimanapun santri tipe kedua ini, adalah santri yang hebat. Dengan dasar relasi, negosiasi, dan komunikasi dalam pergaulan,  mampu bertahan hidup dengan penuh kelezatan tanpa merasa kekurangan. Meskipun pada saat kirimannya yang datang, dia juga harus memberlakukan hal yang sama terhadap teman yang telah mentraktirnya diawal.

 

 

Tipe ketiga: Santri Sultan Tapi Seganan.

 

Pagi ‘roha al ula’ (waktu istirahat pertama): Santri Sultan Tapi Seganan pergi ke wartel dan nelpon,,, 

Assalamu’alaikum…. Ma, mama kapan datang? Dah habis lo ma duit awak?” 

 “Mama lagi ada kerjaan nak, nanti ya kalau kerjaan mama dah selesai”. Jawab mama singkat. 

"O.. ya udahlah ma, assalamu'alaikum" (tutupnya dengan intonasi datar).


Pagi ‘roha al tsaniyah’ (Isirahat kedua), santri sultan seganan pergi lagi ke wartel dan nelpon,… “Assalamu’alaikum Ma, ayah apa kabar? lupa tadi nanya.


"Alhamdulillah sehat nak, kenapa?" Tanya mamanya, mulai curiga.


"Ayah nggak kangen sawa awak? Kangenlah adek  sama ayah ma”

"Ayah lagi kerja nak, nanti malamlah ya telpon lagi, biar bisa ngomong langsung sama ayah, biar hilang rindu anak mama." (sahut sang mama). 

"Ok ma, mama sehatkan? Jaga kesehatan ya ma, Assalamu'alaikum”

 

Sore ‘bad’da ashar’ (usai shalat ashar):

“Assalamu’alaikum…. Ma, mama dah pulang kerja?”

"Inilah nak baru ja selesai kerjaan hari ini, apa itu nak?" (Tanya mama yang sudah mulai yakin maksud anaknya)

"Nggak apa-apa ma, sehat mama kan?"

"Sehat alhamdulillah, kenapa nak, udah habis duitnya?" (tanya mama to the point)

 Nggak sih ma masih ada, tapi tinggal sisa untuk nelpon lagi nanti malam… Emm panteslah dari tadi pagi nelpon terus, ya udah, nanti malam nggak usah ditelpon lagi, besok sore Insya Allah mama datang, 

“horee….., makasih ya ma, mama baik” 

“Iya ya, mau dibelanjain apa?“

"Ada ma, buka catatan dulu ya, mama  tolong diingat ya: Adek mau dibawain ini, itu,… bla…bla…bla.”



*selesai.




Begitulah santri, ada-ada saja tingkah polanya. Menjadi santri itu memiliki beribu rasa. Ada senang, gembira, suka cita dan canda tawa. Sesekali ada juga sedih, tapi biasanya tertutupi dengan lingkungan yang 'support system'nya tinggi, saling mendukung satu sama lain. Tidak punya uang dan belum dapat kiriman memang hal sedih, tapi bagi santri bukan akhir dari segalanya. Sedih di satu hal, bisa bergembira di banyak hal lain. Sedih tidak ada uang, tapi senang masih punya teman sepenanggungan. Sedih tidak bisa jajan, tapi masih bisa makan, sedih sekali senangnya bisa berkali-kali. Sedih santri tidak pernah tanpa solusi. Mereka selalu memiliki ide kreatif untuk mengatasinya. Insya Allah.😊 Sebuah mental hidup yang tanpa disadari seorang santri, mereka telah terbentuk dengan itu. Wallahu'aalam. 

 

 

 

 

 

 

0 comments :

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.

Dalam Feed

Dalam Artikel Baru

Display


*PENGALAMAN NYANTRI: Menikmati Setiap Detik Proses Kelak Menjadi Pengalaman Beresensi